Di pagi hari temanku
bercerita.
Saat itu ia
merasa sangat lelah, capek, dan lemas. Jangankan mengangkat tubuh, kelopak mata
begitu berat rasanya untuk diangkat. Rupanya semua anggota tubuh tidak mau
kompromi. Kalah oleh nafsu. Tidur begitu lama.
Sekitar 4 jam
sebelumnya, anak itu kelihatan sedang asik bercengkrama dengan ‘seorang teman’
yang setia menemani kapanpun. Hingga ia lupa waktu. Banyak hal yang ia lakukan,
namun semuanya hanya obrolan ringan.
Waktu berjalan
tanpa mengenal orang. Tanpa disadari. Waktu dilewati keduanya dengan melakukan
hal-hal yang merugikan.Karena itulah ia tidak mengikuti kegiatan mengaji kepada
kiai.
Di dalam mimpi,
ia berjalan di jalanan lurus, lurus sekali. Tidak tampak tikungan olehnya. Di
pinggir jalan ia bertemu dengan salah seorang keluarganya. Si keluarga berkata
kepada anak itu, “Biasa riah (ini; Madura)!” seketika anak itu terkejut
dan langsung terbangun dari tidurnya.
Kontak ia
langsung melihat jam tangannya. Ternyata, jarum jam menunjukkan 09.33. “Ah, aku
terlambat mengaji,” anak itu membatin, “Mau berangkat pastinya malu.”
Masih dalam
keadaan tubuh terlentang ia termenung, menyesal, kemudian ia tertitur lagi.
Kali ini
benar-benar terlelap. Tidak ada pemandangan yang bisa dilihatnya ketika tidur,
tanpa mimpi sama sekali, kosong.
Ketika matanya
terbuka jarum jam menunjukkan angka 10.36. dan ternyata teman-teman baru datang
dari arah barat dengan kitab di dada, pengajian kiai selesai.
Namun anak ini
tidak segera bangun. Akibatnya ia tertidur lagi.
Dur… dur… dur…
Jidur ditabuh. Sepuluh menit kemudian ia bangun dan berdiri. Ketika hendak
mengambil handuk dan cebok untuk segera berangkat ke kamar mandi, ia teringat bahwa
jadwal pelajaran hari ini (saat itu) adalah jadwal seorang guru yang begitu
disegani. Terpaksa ia tidak mandi dan tidak salat zuhur awal waktu.
Tidak hanya itu
kesialan yang menimpa anak ini. Ia juga terpaksa harus kehilangan
keistiqamahannya yang berupa mengaji di pesarean setiap pagi hari, dimarahi
teman yang tidak diketahui sebabnya, kehilangan barang, dan kebingungan yang
tidak tahu dari mana asalnya.
Keesokan
harinya. Sekitar jam 08.00 Ia berangkat ke barat dengan kitab di dada dan
al-Qur’an di saku atas. Ketika pengajian selesai ia merasa begitu lega, bebas,
tenang, dan damai. Tidak seperti kemaren.
“Oh kiai,
maafkan aku! Anggaplah aku sebagai santrimu,” katanya.