MADZHAB SHAHABAT
MAKALAH

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
1.
Abd Rohman Wahid
2.
Ach Saifullah
3.
Asmaul Husnah
DOSEN PEMBIMBING:
Mohammad Saro’i, M. Pd.I
PROGRAM
STUDI USHUL FIKIH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
TASWIRUL AFKAR
SURABAYA
2015
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrahim.
Puji sukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas ini.
Penyusunan
makalah ini untuk memenuhi tugas dan kewajiban kami sebagai mahasiswa, serta
agar mahasiswa yang lain dapat melakukan kegiatan seperti yang kami lakukan.
Dalam tugas ini kami akan membahas mengenai “MADZHAB SHAHABAT”. Dengan ini kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah mendukung
kami terutama kepada dosen mata kuliah USHUL FIKIH selaku pembimbing kami.
Tiada gading
yang tidak retak. Demikian pepatah mengatakan. Kami sadari tugas ini masih jauh
dari kesempurnaan,oleh karena itu kami sangat mengharap kritik dan saran yang bersifat
membangun sehingga dapat memperbaiki kesalahan kami.
Akhir kata
kami ucapkan terima kasih. Semoga tugas ini bermanfaat dan berguna bagi kita
semua.
Surabaya, 8 Desember 2015
Kelompok 7
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berdasarkan apa yang telah ditetapkan bahwa
dalil syar’i yang dijadikan dasar pengambilan hukum ada empat: al-Qur’an,
Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Jumhur ulama telah sepakat bahwa empat hal itu
dapat digunakan sebagai dalil, juga sepakat bahwa urutan penggunaan dalil
tersebut secata tertib.
Tetapi, ada dalil lain selain dari yang empat
di atas, yang mana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan
dalil-dalil tersebut. Sebagian di antara mereka ada yang menggunakan
dalil-dalil ini dan sebagian yang lain mengingkarinya. Dalil-dalil yang
diperselisihkan penggunaannya sebagai hujah dalam menetapkan suatu
hukum salah satunya adalah mazhab shahabat. Sehingga, dalam
makalah ini kami akan membahas tentang madzhab shahabat ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari mazhab Shahabat?
2.
Bagaimana pandangan ulama terhadap kehujahan mazhab shahabat?
3.
Bagimana madzhab shahabat menurut imam mazhab?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui pengertian dari mazhab shahabat.
2.
Mengetahui pandangan ulama terhadap kehujahan mazhab shahabat.
3.
Mengetahui tentang madzhab shahabat menurut Imam mazhab.
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mazhab Shahabat
Madzhab shahabat ialah
pendapat shahabat Rasulullah SAW tentang suatu kasus di mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam al-Qur’an dan Hadis Rasulullah.
Sedangkan yang dimaksud
dengan shahabat adalah setiap orang
muslim yang hidup dan bergaul dengan Rasulullah
dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah. Seperti Umar
ibn Khattab, ‘Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar bin
Khattab, Aisyah, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka ini adalah di antara para shahabat
yang banyak berfatwa tentang hukum islam.
Lebih lanjut, Abdul Karim Zaedan
dalam Al-Wajiz Fi Ushul Fiqhnya membagi qaul al-Shahabat menjadi empat katagori.
1.
Perkataan shahabat
terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal ini
para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan shahabat bisa dijadikan hujah. Karena kemungkinan sima’ dari
Nabi SAW sangat besar, sehingga perkataan shahabat dalam hal ini bisa termasuk
dalam kategori Hadis. Hal ini seperti perkataan Ali mengenai jumlah mahar yang
terkecil adalah sepuluh dirham. Juga perkataan Anas bahwa
paling sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak
adalah sepuluh hari.
2.
Perkataan shahabat yang
disepakati oleh shahabat lain. Dalam hal ini perkataan shahabat adalah hujah karena
masuk dalam kategori ijma’. Juga perkataan shahabat yang
tersebar di antara para shahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada shahabat
yang mengingkari atau menolaknya. Dalam hal ini pun bisa dijadikan hujah, karena ini merupakan ijma’ sukuti,
bagi mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa
dijadikan hujah.
3.
Perkataan shahabat yang tidak dianggap sebagai hujjah oleh shahabat
yang lain. Dengan artian, banyak shahabat yang berselisih tentang apa yang
dikatakan shahabat tersebut, dan tidak ada shahabat yang mengikuti pendapatnya
ini.
4.
Perkataan shahabat yang
berasal dari ijtihadnya
sendiri.
Qaul al-Shahabat seperti yang nomer empat inilah yang menjadi
perselisihan di antara para ulama mengenai keabsahannya sebagai hujah dalam
fikih Islam. Apakah bisa dijadikan hujah bagi orang yang
hidup di masa setelahnya.
Dan hal ini sesuai dengan pernyataan Prof. DR.
Wahbah Zuhaili dalam Al-Wajîz fî Ushulil-Fiqh. Beliau menyampaikan, yang
dimaksud dengan madzhab shahabat adalah kumpulan pendapat yang bersifat ijtihadi dan fatwa-fatwa fikih dari
seorang shahabat Nabi saw.
Abdul Wahhab Khallaf meng-amini hal ini dalam Ilmu Ushul-fiqh-nya dengan pernyataan,
yang terjadi pertentangan dalam perkataan shahabat adalah pendapat ijtihadi yang tidak disepakati oleh
shahabat yang lain.
B.
Kehujjahan
Mazhab Shahabat
Sebagaimana pembahasan-pembahasan sebelumnya,
dalil yang disepakati dan bisa dibuat hujah untuk memunculkan hukum hanya ada
empat; al Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Sedangkan pendapat ulama mengenai madzhab
shahabat apakah bisa dijadikan dalil terjadi pecah pendapat; kelompok yang pro
dengan madzhab shahabat dan kelompok yang tidak sepakat dengan madzhab
shahabat.
a.
Pro Madzhab Shahabat
Ulama yang pro terhadap madzhab shahabat
adalah dari kalangan ulama Hanafiah, Malikiah dan Hanabilah. Mereka menyetujui
madzhab shahabat sebagai dalil dalam penentuan hukum ini dengan dengan
menggunakan dalil al-Quran, Hadis, Ijma’ dan akal.
Al-Quran
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
(QS. Ali Imron ayat 110)
Ayat ini merupakan kitab dari Allah untuk
shahabat-shahabat agar mereka menganjurkan ma’ruf, sedangkan
perbuatan ma’ruf adalah wajib, karena itu pendapat para
shahabat wajib diterima.
Hadis
أصحابي
كالنجومِ ، فبأيِّهِم اقتديتم اهتديتم
“Shahabatku bagaikan bintang-bintang siapa
saja di antara mereka yang kamu ikuti maka engkau mendapat petunjuk”. (HR. Ibnu Hamid)
Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW
menjadikan ikutan kepada siapa saja dari shahabatnya sebagai dasar memperoleh petunjuk
(hidayah). Hal ini menunjukkan bahwa tiap-tiap pendapat dari mereka itu
adalah hujjah dan wajib kita terima/amalkan.
Ijma’
Ketika Abdurrahman bin ‘Auf menjadi ketua
panitia pemilihan khalifah setelah Umar. Ia pertama kali menawarkan kepada Ali
untuk menjadi khalifah dengan syarat mengikuti sunah kedua khalifah sebelumnya.
Tapi Ali menolak. Kemudian ia menawarkan pada Utsman dengan syarat yang sama,
Utsman pun menerimanya. Pada saat itu tidak ada seorang sahabatpun yang
mengingkari syarat yang diajukan Abdurrahman bin’Auf itu sehingga sampai pada
derajat ijma’.
Dalil Akal
Ijtihad shahabat mengarah pada kebenaran
memiliki peluang lebih besar karena mereka menyaksikan bagaimana al-Quran
turun, mengetahui sebab turunnya al-Quran, memiliki jenjang waktu yang cukup
lama bersama Nabi saw dalam belajar syariat dan memiliki pemahaman bagus di
bidang tafsir al-Quran. Oleh karena keistimewaan inilah ijtihad mereka lebih
dekat pada kebenaran dan lebih didahulukan daripada ijtihad selain shahabat.
b.
Kontra Madzhab Shahabat
Ulama yang kontra terhadap madzhab shahabat
adalah dari kalangan ulama Syaf'i’iyah, mayoritas Asyairoh, Mu’tazilah dan
Syi’ah.
Mereka menyatakan bahwa madzhab shahabat
secara mutlak bukanlah hujah. Sebab, perkataan shahabat adalah mujarrodu ra’yi
(murni logika) perorangan yang sifatnya ijtihadi yang muncul dari orang
tidak maksum (bukan nabi). Setiap mujtahid memungkinkan terjadi kesalahan. Dan
karena para shahabat masih mengakui ijtihad para tabiin, generasi setelahnya.
Andakan madzhab shahabat diakui maka ijtihat tabiin tidak akan diakui dan
shahabat pun mengingkari terhadap perselisihan ini.
Hal ini dapat disaksikan terhadap kejadian
yang dialami oleh Sayidina Ali k.w. Saat itu baju besinya berada di tangan
orang Yahudi. Lantas Sayidina Ali mengadukan hal ini kepada hakim yang bernama
Syuraih. Namun dalam persidangan Hakim yang merupakan tabiin menyalahi pendapat
Sayidina Ali. Dan hakim menolak persaksian Hasan bin Ali karena kerabat.
Sedangkan Sayidina Ali memperbolehkan sifat kekerabatan saksi dalam
persidangan.
Masruq bin Abbas yang merupakan tabiin pernah
ditanya mengenai nadzar menyembeleh anak laki-laki. Masruq menjawab cukup
dengan kambing. Sedangkan Ibnu Abbas yang merupakan shahabat dalam masalah
nadzar ini memberi fatwa dengan menyembelih 100 unta. Lantas Masruq berkata,
“Bukankah anaknya lebih baik daripada Ismail.” Dengan jawaban ini Ibnu Abbas
meng-amini pendapat Masruq.
Juga Anas bin Malik ketika ditanya tentang
permasalahan, beliau menjawab, “Tanyakanlah hal itu kepada beliau al-Hasan
al-Bashri, Sayidut-Tabiin.”
C.
Mazhab Shahabat menurut Imam mazhab.
Imam Abu Hanifah
Adapun sumber hukum ijtihadi yang
pokok Abu Hanifah yaitu apabila tidak terdapat dalam Al-Qur’an, ia merujuk
pada Hadis Rasul dan atsar yang sahih yang
diriwayatkan oleh orang orang yang tsiqah. Dan bila tidak
mendapatkan pada keduanya, maka ia akan merujuk pada qaul shahabat, dan
apabila shahabat ikhtilaf, maka ia akan mengambil pendapat dari shahabat
manapun yang ia kehendaki. Dalam hal ini,
Abu Hanifah telah berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum
dari al-Qur’an
dan hadis, maka
kami mempergunakan fatwa-fatwa shahabat. Pendapat para shahabat tersebut, ada
yang diambil, ada pula yang kami tinggalkan. Akan tetapi kami tidak akan
beralih dari pendapat mereka kepada selain mereka.”
Imam Syafi’i
Diriwayatkan oleh
ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i berkata:
“Suatu ketika kami
menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang shahabat, sementara pada waktu
yang lain mereka meninggalkannya. Mereka berselisih terhadap sebagian pendapat
yang diambil dari para shahabat.” Kemudian seorang teman diskusinya
bertanya: “Bagaimanakah sikap anda terhadap hal ini?”. Dia
menjawab: “Jika kami tidak menemukan dasar-dasar hukum dari al-Qur’an,
sunah, ijma’, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang shahabat”.
Diriwayatkan juga oleh
ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i berkata: “Jika kami tidak menjumpai
dasar-dasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, maka kami kembali kepada pendapat
para shahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus
bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar
atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang
menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya
kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”.
Keterangan di atas
menunjukkan, bahwa dalam menetapkan hukum, pertama-tama Imam Syafi’i mengambil
dasar dari Al-Qur’an dan Hadis, kemudian pendapat yang
telah disepakati oleh para shahabat. Setelah itu, pendapat-pendapat yang
diperselisihkan tersebut tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan Al-Qur’an dan Hadis, maka dia mengikuti apa yang dikerjakan oleh al-Khulafa ar-Rasyidin, karena pendapat mereka
telah masyhur, dan pada umumnya sangat teliti.
Demikian juga Imam Malik
RA banyak sekali hukum-hukum yang didasarkan pada fatwa-fatwa shahabat.
Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal
menggunakan metode Hadis dalam beristinbath.
Adapun sumber hukum yang dijadikannya sebagai landasan yaitu Al-Qur’an, sunnah, qaul shahabat yang tidak bertentangan, hadis mursal, hadis dhaif, qiyas dan sadz al dzar’i.
Imam Hanbal lebih mengutamakan hadis mursal atau hadis dhaif daripada qiyas. Sebab, beliau tidak akan menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan sangat terpaksa. Demikian juga halnya dengan qaul shahabat, beliau tidak menyukai fatwa bila tanpa didasarkan pada atsar.
Apabila dalam Al-Qur’an dan Hadis tidak didapati dalil yang
dicari maka beliau menggunakan fatwa para shahabat Nabi yang tidak ada
perselisihan di antara mereka. Namun jika tidak ditemui dalam fatwa tersebut,
maka beliau mengunakan hadis mursal dan dhaif.
Bila masih tidak ditemukan juga, maka barulah beliau mengqiyaskannya.
III. PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mazhab Shahabat yang
lazimnya juga disebut qaulush-Shahabat maksudnya adalah
pendapat-pendapat shahabat dalam masalah-masalah ijtihadi. Dengan kata lain qaulush-Shahabat adalah pendapat para shahabat
tentang suatu kasus yang dinukil oleh para ulama, baik berupa fatwa maupun
ketetapan hukum, yang tidak dijelaskan dalam ayat atau hadis.
Tidak semua qaulush-Shahabat diperselisihkan keabsahannya sebagai hujjah di antara para ulama. Tetapi qaulush-Shahabat
yang diperselisihkan adalah perkataan shahabat tentang suatu
permasalahan ijtihadi yang tidak tersebar di kalangan para shahabat
yang lainnya dan tidak ada nash sharih yang menjelaskan
permasalahan tersebut.
Tidak semua ulama sepakat
untuk mengambil dan mengikkuti mazhab shahabat sebagi hujjah dalam
menetapkan suatu hukum. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Muhammad
Abu Zahrah jumhur ulama mengikuti dan mengambil madzhab Shahabat sebagi hujjah dalam istimbath hukum,
terutama Imam mazhab yang empat (Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan
Imam Hanbali).
B.
Saran
Dalam penulisan makalah
ini penulis merasa masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis
mengharapkan adanya kritikan dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah ini. Diharapkan penulis selanjutnya lebih kreatif dan inovatif dalam
mengembangkan daya pikirnya kedepan untuk memajukan syari’at Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqh, Kuwait: An-Nasyr Wattawzi’. PDF
Abdul Karim Zaedan, Al-Wajiz
Fi Ushul Fiqh, Beirut: Muassasah Ar-Risalah. PDF
DR Ali Jumah, Qaulu-Shahabi
‘Inda-Ushulyyin, Cairo: Dârur-Risâlah. PDF
Al-Ghazali, al-Mustashfâ
min ‘Ilmil-Ushul, Beirut: Muassasah Ar-Risalah. PDF
DR Wahbah Zuhailiy, Al-Wajiz
Fi Ushul Fiqh, Beirut: Dârul Fikr AlMu’asshir. PDF