Following My Youtube Chanel Subscribe Now!
Posts

MADZHAB SHAHABAT (MAKALAH)



MADZHAB SHAHABAT

MAKALAH


Description: Description: E:\Images\logo+keren.jpg


DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 7

1.      Abd Rohman Wahid
2.      Ach Saifullah
3.      Asmaul Husnah


DOSEN PEMBIMBING:
Mohammad Saro’i, M. Pd.I





PROGRAM STUDI USHUL FIKIH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
TASWIRUL AFKAR
SURABAYA
2015

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrahim.

Puji sukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas ini.

Penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas dan kewajiban kami sebagai mahasiswa, serta agar mahasiswa yang lain dapat melakukan kegiatan seperti yang kami lakukan. Dalam tugas ini kami akan membahas mengenai “MADZHAB SHAHABAT”. Dengan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah mendukung kami terutama kepada dosen mata kuliah USHUL FIKIH selaku pembimbing kami.

Tiada gading yang tidak retak. Demikian pepatah mengatakan. Kami sadari tugas ini masih jauh dari kesempurnaan,oleh karena itu kami sangat mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga dapat memperbaiki kesalahan kami.

Akhir kata kami ucapkan terima kasih. Semoga tugas ini bermanfaat dan berguna bagi kita semua.

Surabaya, 8 Desember 2015


Kelompok 7
BAB I PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Berdasarkan apa yang telah ditetapkan bahwa dalil syar’i yang dijadikan dasar pengambilan hukum ada empat: al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Jumhur ulama telah sepakat bahwa empat hal itu dapat digunakan sebagai dalil, juga sepakat bahwa urutan penggunaan dalil tersebut secata tertib.
Tetapi, ada dalil lain selain dari yang empat di atas, yang mana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian di antara mereka ada yang menggunakan dalil-dalil ini dan sebagian yang lain mengingkarinya. Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya sebagai hujah dalam menetapkan suatu hukum salah satunya adalah mazhab shahabatSehingga, dalam makalah ini kami akan membahas tentang madzhab shahabat ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari mazhab Shahabat?
2.      Bagaimana pandangan ulama terhadap kehujahan mazhab shahabat?
3.      Bagimana madzhab shahabat menurut imam mazhab?

C.     Tujuan Penulisan
1.         Mengetahui pengertian dari mazhab shahabat.
2.         Mengetahui pandangan ulama terhadap kehujahan mazhab shahabat.
3.         Mengetahui tentang madzhab shahabat menurut Imam mazhab.






BAB II PEMBAHASAN
A.     Pengertian Mazhab Shahabat
Madzhab shahabat ialah pendapat shahabat Rasulullah SAW tentang suatu kasus di mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam al-Quran dan Hadis Rasulullah.
Sedangkan yang dimaksud dengan shahabat adalah  setiap orang muslim yang hidup dan bergaul dengan Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah. Seperti Umar ibn Khattab, ‘Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar bin Khattab, Aisyah, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka ini adalah di antara para shahabat yang banyak berfatwa tentang hukum islam.
Lebih lanjut, Abdul Karim Zaedan dalam  Al-Wajiz Fi Ushul Fiqhnya membagi qaul al-Shahabat menjadi empat katagori.
1.         Perkataan shahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan shahabat bisa dijadikan hujah. Karena kemungkinan sima’ dari Nabi SAW sangat besar, sehingga perkataan shahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori Hadis. Hal ini seperti perkataan Ali mengenai jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham. Juga perkataan Anas bahwa paling sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak adalah sepuluh hari.
2.         Perkataan shahabat yang disepakati oleh shahabat lain. Dalam hal ini perkataan shahabat adalah hujah karena masuk dalam kategori ijma’. Juga perkataan shahabat yang tersebar di antara para shahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada shahabat yang mengingkari atau menolaknya. Dalam hal ini pun bisa dijadikan hujah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujah.
3.         Perkataan shahabat yang tidak dianggap sebagai hujjah oleh shahabat yang lain. Dengan artian, banyak shahabat yang berselisih tentang apa yang dikatakan shahabat tersebut, dan tidak ada shahabat yang mengikuti pendapatnya ini.
4.         Perkataan shahabat yang berasal dari ijtihadnya sendiri.
Qaul al-Shahabat seperti yang nomer empat inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama mengenai keabsahannya sebagai hujah dalam fikih Islam. Apakah bisa dijadikan hujah bagi orang yang hidup di masa setelahnya.
Dan hal ini sesuai dengan pernyataan Prof. DR. Wahbah Zuhaili dalam Al-Wajîz fî Ushulil-Fiqh. Beliau menyampaikan, yang dimaksud dengan madzhab shahabat adalah kumpulan pendapat yang bersifat ijtihadi dan fatwa-fatwa fikih dari seorang shahabat Nabi saw.
Abdul Wahhab Khallaf meng-amini hal ini dalam Ilmu Ushul-fiqh-nya dengan pernyataan, yang terjadi pertentangan dalam perkataan shahabat adalah pendapat ijtihadi yang tidak disepakati oleh shahabat yang lain.

B.     Kehujjahan Mazhab Shahabat
Sebagaimana pembahasan-pembahasan sebelumnya, dalil yang disepakati dan bisa dibuat hujah untuk memunculkan hukum hanya ada empat; al Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Sedangkan pendapat ulama mengenai madzhab shahabat apakah bisa dijadikan dalil terjadi pecah pendapat; kelompok yang pro dengan madzhab shahabat dan kelompok yang tidak sepakat dengan madzhab shahabat.
a.      Pro Madzhab Shahabat
Ulama yang pro terhadap madzhab shahabat adalah dari kalangan ulama Hanafiah, Malikiah dan Hanabilah. Mereka menyetujui madzhab shahabat sebagai dalil dalam penentuan hukum ini dengan dengan menggunakan dalil al-Quran, Hadis, Ijma’ dan akal.
Al-Quran
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imron ayat 110)
Ayat ini merupakan kitab dari Allah untuk shahabat-shahabat agar mereka menganjurkan ma’ruf, sedangkan perbuatan ma’ruf adalah wajib, karena itu pendapat para shahabat wajib diterima.
Hadis
أصحابي كالنجومِ ، فبأيِّهِم اقتديتم اهتديتم
“Shahabatku bagaikan bintang-bintang siapa saja di antara mereka yang kamu ikuti maka engkau mendapat petunjuk”. (HR. Ibnu Hamid)
Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menjadikan ikutan kepada siapa saja dari shahabatnya sebagai dasar memperoleh petunjuk (hidayah). Hal ini menunjukkan bahwa tiap-tiap pendapat dari mereka itu adalah hujjah dan wajib kita terima/amalkan.
Ijma’
Ketika Abdurrahman bin ‘Auf menjadi ketua panitia pemilihan khalifah setelah Umar. Ia pertama kali menawarkan kepada Ali untuk menjadi khalifah dengan syarat mengikuti sunah kedua khalifah sebelumnya. Tapi Ali menolak. Kemudian ia menawarkan pada Utsman dengan syarat yang sama, Utsman pun menerimanya. Pada saat itu tidak ada seorang sahabatpun yang mengingkari syarat yang diajukan Abdurrahman bin’Auf itu sehingga sampai pada derajat ijma’.
Dalil Akal
Ijtihad shahabat mengarah pada kebenaran memiliki peluang lebih besar karena mereka menyaksikan bagaimana al-Quran turun, mengetahui sebab turunnya al-Quran, memiliki jenjang waktu yang cukup lama bersama Nabi saw dalam belajar syariat dan memiliki pemahaman bagus di bidang tafsir al-Quran. Oleh karena keistimewaan inilah ijtihad mereka lebih dekat pada kebenaran dan lebih didahulukan daripada ijtihad selain shahabat.

b.      Kontra Madzhab Shahabat
Ulama yang kontra terhadap madzhab shahabat adalah dari kalangan ulama Syaf'i’iyah, mayoritas Asyairoh, Mu’tazilah dan Syi’ah.
Mereka menyatakan bahwa madzhab shahabat secara mutlak bukanlah hujah. Sebab, perkataan shahabat adalah mujarrodu ra’yi (murni logika) perorangan yang sifatnya ijtihadi yang muncul dari orang tidak maksum (bukan nabi). Setiap mujtahid memungkinkan terjadi kesalahan. Dan karena para shahabat masih mengakui ijtihad para tabiin, generasi setelahnya. Andakan madzhab shahabat diakui maka ijtihat tabiin tidak akan diakui dan shahabat pun mengingkari terhadap perselisihan ini.
Hal ini dapat disaksikan terhadap kejadian yang dialami oleh Sayidina Ali k.w. Saat itu baju besinya berada di tangan orang Yahudi. Lantas Sayidina Ali mengadukan hal ini kepada hakim yang bernama Syuraih. Namun dalam persidangan Hakim yang merupakan tabiin menyalahi pendapat Sayidina Ali. Dan hakim menolak persaksian Hasan bin Ali karena kerabat. Sedangkan Sayidina Ali memperbolehkan sifat kekerabatan saksi dalam persidangan.
Masruq bin Abbas yang merupakan tabiin pernah ditanya mengenai nadzar menyembeleh anak laki-laki. Masruq menjawab cukup dengan kambing. Sedangkan Ibnu Abbas yang merupakan shahabat dalam masalah nadzar ini memberi fatwa dengan menyembelih 100 unta. Lantas Masruq berkata, “Bukankah anaknya lebih baik daripada Ismail.” Dengan jawaban ini Ibnu Abbas meng-amini pendapat Masruq.
Juga Anas bin Malik ketika ditanya tentang permasalahan, beliau menjawab, “Tanyakanlah hal itu kepada beliau al-Hasan al-Bashri, Sayidut-Tabiin.”

C.     Mazhab Shahabat menurut Imam mazhab.
Imam Abu Hanifah
Adapun sumber hukum ijtihadi yang pokok Abu Hanifah yaitu apabila tidak terdapat dalam Al-Qur’an, ia merujuk pada Hadis Rasul dan atsar yang sahih yang diriwayatkan oleh orang orang yang tsiqah. Dan bila tidak mendapatkan pada keduanya, maka ia akan merujuk pada qaul shahabat,  dan apabila shahabat ikhtilaf, maka ia akan mengambil pendapat dari shahabat manapun yang ia  kehendakiDalam hal ini, Abu Hanifah telah berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dari al-Qur’an dan hadis, maka kami mempergunakan fatwa-fatwa shahabat. Pendapat para shahabat tersebut, ada yang diambil, ada pula yang kami tinggalkan. Akan tetapi kami tidak akan beralih dari pendapat mereka kepada selain mereka.”
Imam Syafi’i
Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i berkata:
Suatu ketika kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang shahabat, sementara pada waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka berselisih terhadap sebagian pendapat yang diambil dari para shahabat.” Kemudian seorang teman diskusinya bertanya: “Bagaimanakah sikap anda terhadap hal ini?”. Dia menjawab: “Jika kami tidak menemukan dasar-dasar hukum dari al-Qur’an, sunah, ijma’, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang shahabat”.
Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para shahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”.
Keterangan di atas menunjukkan, bahwa dalam menetapkan hukum, pertama-tama Imam Syafi’i mengambil dasar dari Al-Quran dan Hadis, kemudian pendapat yang telah disepakati oleh para shahabat. Setelah itu, pendapat-pendapat yang diperselisihkan tersebut tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan Al-Quran dan Hadis, maka dia mengikuti apa yang dikerjakan oleh al-Khulafa ar-Rasyidin, karena pendapat mereka telah masyhur, dan pada umumnya sangat teliti.
Demikian juga Imam Malik RA banyak sekali hukum-hukum yang didasarkan pada fatwa-fatwa shahabat.
Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan metode Hadis dalam beristinbath. Adapun sumber hukum yang dijadikannya sebagai landasan yaitu Al-Quran, sunnah, qaul shahabat yang tidak bertentangan, hadis mursal, hadis dhaif, qiyas dan sadz al dzar’i.
Imam Hanbal lebih mengutamakan hadis mursal atau hadis dhaif daripada qiyas. Sebab, beliau tidak akan menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan sangat terpaksa. Demikian juga halnya dengan qaul shahabat, beliau tidak menyukai fatwa bila tanpa didasarkan pada atsar.
Apabila dalam Al-Quran dan Hadis tidak didapati dalil yang dicari maka beliau menggunakan fatwa para shahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di antara mereka. Namun jika tidak ditemui dalam fatwa tersebut, maka beliau mengunakan hadis mursal dan dhaif. Bila masih tidak ditemukan juga, maka barulah beliau mengqiyaskannya.





III.    PENUTUP
A.     Kesimpulan
Mazhab Shahabat yang lazimnya juga disebut qaulush-Shahabat maksudnya adalah pendapat-pendapat shahabat dalam masalah-masalah ijtihadi. Dengan kata lain qaulush-Shahabat  adalah pendapat para shahabat tentang suatu kasus yang dinukil oleh para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, yang tidak dijelaskan dalam ayat atau hadis.
Tidak semua qaulush-Shahabat  diperselisihkan keabsahannya sebagai hujjah di antara para ulama. Tetapi qaulush-Shahabat yang diperselisihkan adalah perkataan shahabat tentang suatu permasalahan ijtihadi yang tidak tersebar di kalangan para shahabat yang lainnya dan tidak ada nash sharih yang menjelaskan permasalahan tersebut.
Tidak semua ulama sepakat untuk mengambil dan mengikkuti mazhab shahabat sebagi hujjah dalam menetapkan suatu hukum. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Muhammad Abu Zahrah jumhur ulama mengikuti dan mengambil madzhab Shahabat sebagi hujjah dalam istimbath hukum, terutama Imam mazhab yang empat (Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali).

B.      Saran
Dalam penulisan makalah ini  penulis merasa masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan adanya kritikan dari para pembaca  demi kesempurnaan makalah ini. Diharapkan penulis selanjutnya lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan daya pikirnya kedepan untuk memajukan syari’at Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Kuwait: An-Nasyr Wattawzi’. PDF
Abdul Karim Zaedan, Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh, Beirut: Muassasah Ar-Risalah. PDF
DR Ali Jumah, Qaulu-Shahabi ‘Inda-Ushulyyin, Cairo: Dârur-Risâlah. PDF
Al-Ghazali, al-Mustashfâ min ‘Ilmil-Ushul, Beirut: Muassasah Ar-Risalah. PDF
DR Wahbah Zuhailiy, Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh, Beirut: Dârul Fikr AlMu’asshir. PDF
 

Post a Comment

© Operator Santri. All rights reserved. Premium By Tech Bangla Info